Jumlah Hotel di Bali Naik Jadi 2.079, Disparda dan PHRI Usulkan Moratorium
Badan Pusat Statistik (BPS)Provinsi Bali, mencatat pertumbuhan hotel dan kamar hotel diBali sangat pesat.
Tercatat pada tahun 2006 hotel bintang di Bali hanya 147 hotel, kemudian tahun 2015 jumlahnya telah mencapai 281 hotel bintang.
Sedangkan secara keseluruhan, baik hotel bintang maupun non bintang mencapai 2.079 hotel, padahal di tahun 2006 jumlahnya hanya 1.635 hotel.
Kepala BPS Provinsi Bali, Adi Nugroho menjelaskan, pariwisata memang demikian cepat berkembang.
Sebab secara kasat mata, Bali yang dulu terpapar sebagai daerah agraris dengan bentangan sawah hijau, kini sebagian telah menjadi deretan hotel dan sarana penunjang pariwisata lainnya.
“Jumlah hotel berbintang meningkat hampir dua kali lipat hanya dalam rentang 9 tahun terakhir,” katanya saat dihubungi TribunBali, Rabu (19/4/2017).
Lanjut Adi, seiring berjalannya waktu, pariwista yang selama ini menjadi sektor andalan perekonomian Bali tetap tidak tergoyahkan.
Bahkan tahun 2015, kata dia, sumbangsih lapangan usaha Penyediaan Akomodasi dan Makan-Minum (Akmamin) merupakan penyumbang tertinggi pertumbuhan ekonomi Bali.
Dari pertumbuhan PDRB yang mencapai 6,04 persen, sumbangan tertinggi yaitu 1,13 persennya berasal dari lapangan usaha Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum.
“Apabila dilihat berdasarkan kontribusi lapangan usaha tersebut terhadap distribusi ekonomi, kontribusinya mencapai 22,82 persen pada tahun 2015,” jelasnya.
Kemudian hotel dan jenis akomodasi lainnya, yang merupakan salah satu komponen vital industri pariwisata, merupakan sesuatu yang mesti dipelihara dan dikembangkan.
Hanya saja, konsekuensinya pertumbuhan jumlah akomodasi secara global tidak dapat dibendung lagi.
“Tidak cukup hanya kuantitas akomodasi yang ditingkatkan, fasilitas-fasilitas akomodasi yang dapat menambah kenyamanan juga merupakan hal yang harus diperhatikan dalam mengembangkan sarana akomodasi,” imbuhnya.
Selain itu, jelas Adi, untuk beberapa kasus perkembangan pariwisata juga cenderung terkesan kebablasan.
Pertanian yang menjadi sendi kehidupan masyarakat Bali harus susah payah menjaga eksistensinya di tengah serbuan pariwisata.
Banyak lahan sawah, kebun ataupun lahan hijau lainnya yang tergerus dan digantikan oleh hotel, vila dan sejenisnya.
Belum lagi pengaruh eksternal yang begitu dominan.
Terlihat pada 2015 ini, jumlah hotel di Bali bertambah sebanyak 29 unit atau naik 1,14 persen dibandingkan tahun sebelumnya.
Hotel berbintang bertambah sebanyak 32 unit atau lebih dari 12 persen.
Jika disimak berdasarkan kabupaten/kota, jumlah hotel bintang di Kabupaten Badung masih mendominasi dengan persentase hingga 65,12 persen.
Disusul Kota Denpasar sebesar 12,81 persen, dan Kabupaten Gianyar sebanyak 8,90 persen. Begitu pun untuk hotel non bintang, Badung mendominasi hingga 27,31 persen, disusul Kabupaten Gianyar sebanyak 19,91 persen, dan Kota Denpasar sebanyak 13,96 persen.
Sejalan dengan penambahan hotel, jumlah kamar juga meningkat.
“Jika tahun 2014 jumlah kamar mencapai 55.664 kamar, maka pada 2015 jumlah kamar mencapai 60.313 kamar. Atau naik hampir 5.000 kamar dibandingkan tahun sebelumnya,” jelas Adi.
Dilihat berdasarkan klasifikasinya, jumlah kamar hotel bintang tahun 2015 mencapai 31.596 unit.
Naik dibandingkan tahun 2014 yang hanya 28.811 unit kamar.
Untuk akomodasi non bintang, jumlah kamar juga naik dari 26.853 kamar pada 2014 menjadi 28.717 kamar pada 2015.
Berdasarkan data Dinas Pariwisata Daerah Pemprov Bali, baik jumlah hotel maupun kamar pada 2016 kembali melonjak.
Kepala Dinas Pariwisata Daerah Pemprov Bali, A A Gede Yuniartha Putra, mengatakan jumlah pondok wisata pada 2016 mencapai 3.150 dengan jumlah kamar 10.424.
Jumlah kamar hotel melati mencapai 1.511 dengan jumlah kamar 36.388.
Sehingga total kamar yang ada untuk hotel berbintang, pondok wisata ditambah hotel melati sebanyak 78.638.
Sedangkan data hotel bintang berdasarkan klasifikasi bintang pada 2016, sebanyak 335 untuk hotel bintang satu.
Bintang 2 sebanyak 22 hotel dengan 1.241 kamar, bintang 3 sebanyak 49 hotel dengan 3.997 kamar, bintang 4 sebanyak 75 hotel dengan 10.732 kamar.
Kemudian hotel bintang 5 sebanyak 66 hotel dengan 15.081 kamar.
Total hotel berbintang pada 2016 sebanyak 219 hotel dengan 31.386 kamar.
Sehingga secara keseluruhan, terjadi kenaikan hotel cukup signifikan dari 2006 yang hanya 1.653 hotel, menjadi 2.079 hotel pada 2015, dan 4.880 hotel pada 2016.
“Yang jelas memang ada peningkatan, khususnya di Badung,” kata Yuniartha.
Hal ini menjadi momok, karena dengan derasnya pertumbuhan hotel yang tidak seimbang dengan jumlah kunjungan wisatawan, menyebabkan turunnya okupansi.
Walaupun Badung telah mengeluarkan peraturan bupati mengenai minimal ukuran tanah harus 50 are, yang bertujuan menghambat pembangunan hotel. Namun dirasa belum berpengaruh signifikan.
“Kalau dulu kan tanah 10 are saja bisa bangun budget hotel, sekarang minimal 50 are. Tetapi seharusnya moratorium untuk Badung ini, termasuk Denpasar dan Gianyar juga,” cetusnya.
Ketua PHRI Bali, Tjokorda Oka Artha Ardana Sukawati, mengamini hal ini. Cok Ace mengatakan, jumlah kamar yang cukup banyak, tidak berbanding lurus dengan jumlah kedatangan wisatawan ke Bali.
Kalkulasi kasarnya, jika di Bali ada 130 ribu room night maka dalam setahun menghasilkan 47 juta lebih room night.
Sementara kedatangan wisatawan mancanegara (wisman) dan wisatawan domestik (wisdom) masing-masing diperkirakan 5 juta, sehingga totalnya 10 juta.
“Andaikata seorang dari 10 juta ini menginap di 1 kamar saja, dikalikan 3 hari maka hasilnya 30 juta. Ini belum yang memesan extra bed, bahkan bisa turun menjadi 15 juta room night. Nah kita mempunyai 47 juta room night, kebutuhannya maksimal 30 juta, tentu okupansi tidak akan pernah naik,” tegasnya.
Sehingga ia mendukung dilakukannya moratorium pembangunan akomodasi di Bali.
Masalah pariwisata domestik antara supply dan demmand ini akan dibicarakan pada Rakernas PHRI.
Sembari membahas masalah zonasi, yang makin menyimpang dari apa yang dibayangkan.
Zonasi bintang dan non bintang masih tumpang tindih. Juga merupakan PR kami, di samping mencari formulasi agar pemerintah bisa mendukung kami di PHRI dalam rangka menata keanggotaan,” katanya.
Solusi tercepat, kata dia, adalah moratorium guna mengendalikan laju pembangunan akomodasi dan menatanya kembali.
“Zonasi ini juga penting, biar nanti antar kabupaten tidak saling bunuh untuk mendapatkan PAD. Malah bisa-bisa kalau tidak ditata seluruh PAD akan menurun,” tegasnya.Ia pun berharap kabupaten/kota ikut membantu mengawasi pembangunan ini, atau setidaknya mengajak PHRI ketika ada pembangunan hotel ke depannya. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar